Kamis, 24 November 2016

Guru seorang utusan



Selamat hari guru Semarang 25 \ Nov 2016, 8:59.  oleh : yohanes totok warsito

Dihari Jumat pagi itu ada kejadian yang tidak begitu penting, lewat begitu saja seperti hari-hari biasanya. Banyak peristiwa di hari itu, banyak tawa dan canda dan banyak pula tutur kata yang keluar dari mulut ini. Satu peristiwa yang masih teringat secara samar dimana ada satu pernyataan dari teman guru demikian ; selama hampir 30 tahun menjadi guru baru 2 kali dirayakan dengan upacara. Saya sendiri tidak begitu yakin apakah ini merayakan hari guru atau sekedar seremonial saja. Banyak kata sanjungan untuk guru yang mampir di media sosial, sms, wa dan lain sebagainya, apakah hal ini latah semata ataukah tulus putih salju.
Banyak kalimat memuji dan memuliakan guru, seolah seorang guru itu seorang malaikat atau bahkan seorang utusan Tuhan yang sengaja diturunkan kedunia untuk meniti jalan menuju masa depan yang gilang gemilang. Guru secara spesial juga dibuatkan lagu dan senantiasa dinyanyikan dan dihafalkan oleh semua murid sekolah dimanapun mereka berada, begitu mulia jasamu wahai guruku. Lebih dasyat lagi dituliskan dalam undang-undang dan peraturan pemerintah tentang jasa seorang guru untuk mendidik masa depan bangsa. Banyak politisi mengkhawatirkan tentang masa depan bangsa karena pendidikan di negara kami jauh tertinggal dengan bangsa lain, karena pendidikan bangsa kami di daerah perbatasan jauh tertinggal dari daerah kota, karena pendidikan bangsa kami disekolah miskin jauh tertinggal dari sekolah unggulan. Akademisi dan praktisi pendidikanpun  miris dengan semangat belajar bangsa ini, miris dengan pengambil kebijakan tentang pendidikan yang tidak tentu arah dan tujuannya. Separo rakyat negara kami mencoba menimpakan semua kekhawatiran dan kemirisan pendidikan bangsa kami ini dipundak guru, ya! di pundak kami para guru.

Masihkah guru sebagai sosok yang dapat dijadikan panutan dan tuntunan.

Dalam hati sanubari saya tidak pernah ada keraguan ataupun penyesalan karena saya menjadi guru, karena saya menjadi seorang yang hendak di tiru anak didik saya, menjadi pribadi yang dijadikan tolok ukur sikap dan semangat mereka di masyarakat. Layaknya seorang orang tua yang berharap besar pada anak-anaknya kelak, saya pun mempunyai harapan yang tinggi akan masa depan anak-didik kami. Bukan karena saya bisa mengubah mereka yang bodoh menjadi pintar ataupun mereka yang pintar menjadi genius, atau yang malas menjadi rajin, yang lembek menjadi bersemangat, tetapi hanya memberikan apa yang ada dalam diri saya secara tulus. Mengajarkan mereka dari hari-kehari sebuah kepercayaan diri bahwa mereka istimewa, dari hari kehari menyadarkan mereka bahwa mereka semua beraudara, dari hari kehari menanamkan dalam diri mereka sedikit semangat berjuang melawan lupa, melawan kemalasan, melawan sikap iri. Ketika hari kemarin mereka lupa apa yang telah mereka dapat, maka hari ini kami ingatkan sekali lagi. Dan ketika hari esok mereka lupa lagi maka lusa harinya kami ingatkan lagi.

Apakah saya pantas dijadikan panutan dan tutuntunan, kalimat ini sungguh terlalu jauh dari angan-angan dan kemampuan saya sebagai guru. Apakah saya layak menjadi panutan ketika saya ajak mereka berbicara sebagai sahabat, sebagai teman ketika belajar. Apakah saya pantas menjadi tuntunan ketika mereka saya sapa sebagai kawan-kawan dan bukan siswa-siswi ataupun murid-murid. Apakah saya bisa dilihat sebagai sosok yang pantas di gugu dan di tiru ketika mereka saya ajak mendengarkan teman yang sedang berbicara ataupun menuliskan ide dan gagasan mereka. Ketika saya memaksakan mereka melakukan sebuah kejujuran dan berani mengakui kesalahan. Ketika mereka berteriak senang ataupun merasa sedih dengan nilai ulangan yang mereka dapat. Ketika mereka saya ajak menghargai teman yang lebih dahulu berhasil dan tidak menghina mereka yang belum berhasil. Apakah saya seorang malaikat atau utusan Tuhan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar