Selamat hari guru Semarang 25 \ Nov 2016,
8:59. oleh : yohanes totok warsito
Dihari Jumat pagi itu ada kejadian yang tidak
begitu penting, lewat begitu saja seperti hari-hari biasanya. Banyak peristiwa
di hari itu, banyak tawa dan canda dan banyak pula tutur kata yang keluar dari
mulut ini. Satu peristiwa yang masih teringat secara samar dimana ada satu
pernyataan dari teman guru demikian ; selama hampir 30 tahun menjadi guru baru
2 kali dirayakan dengan upacara. Saya sendiri tidak begitu yakin apakah ini
merayakan hari guru atau sekedar seremonial saja. Banyak kata sanjungan untuk guru yang mampir di media sosial, sms, wa dan lain
sebagainya, apakah hal ini latah semata ataukah tulus putih salju.
Banyak kalimat memuji dan memuliakan guru,
seolah seorang guru itu seorang malaikat atau bahkan seorang utusan Tuhan yang
sengaja diturunkan kedunia untuk meniti jalan menuju masa depan yang gilang
gemilang. Guru secara spesial juga dibuatkan lagu dan senantiasa dinyanyikan
dan dihafalkan oleh semua murid sekolah dimanapun mereka berada, begitu mulia
jasamu wahai guruku. Lebih dasyat lagi dituliskan dalam undang-undang dan
peraturan pemerintah tentang jasa seorang guru untuk mendidik masa depan
bangsa. Banyak politisi mengkhawatirkan tentang masa depan bangsa karena
pendidikan di negara kami jauh tertinggal dengan bangsa lain, karena pendidikan
bangsa kami di daerah perbatasan jauh tertinggal dari daerah kota, karena
pendidikan bangsa kami disekolah miskin jauh tertinggal dari sekolah unggulan.
Akademisi dan praktisi pendidikanpun
miris dengan semangat belajar bangsa ini, miris dengan pengambil
kebijakan tentang pendidikan yang tidak tentu arah dan tujuannya. Separo rakyat
negara kami mencoba menimpakan semua kekhawatiran dan kemirisan pendidikan
bangsa kami ini dipundak guru, ya! di pundak kami para guru.
Masihkah guru sebagai sosok yang dapat
dijadikan panutan dan tuntunan.
Dalam hati sanubari saya tidak pernah ada
keraguan ataupun penyesalan karena saya menjadi guru, karena saya menjadi
seorang yang hendak di tiru anak didik saya, menjadi pribadi yang dijadikan
tolok ukur sikap dan semangat mereka di masyarakat. Layaknya seorang orang tua
yang berharap besar pada anak-anaknya kelak, saya pun mempunyai harapan yang
tinggi akan masa depan anak-didik kami. Bukan karena saya bisa mengubah mereka
yang bodoh menjadi pintar ataupun mereka yang pintar menjadi genius, atau yang
malas menjadi rajin, yang lembek menjadi bersemangat, tetapi hanya memberikan
apa yang ada dalam diri saya secara tulus. Mengajarkan mereka dari hari-kehari
sebuah kepercayaan diri bahwa mereka istimewa, dari hari kehari menyadarkan
mereka bahwa mereka semua beraudara, dari hari kehari menanamkan dalam diri
mereka sedikit semangat berjuang melawan lupa, melawan kemalasan, melawan sikap
iri. Ketika hari kemarin mereka lupa apa yang telah mereka dapat, maka hari ini
kami ingatkan sekali lagi. Dan ketika hari esok mereka lupa lagi maka lusa
harinya kami ingatkan lagi.
Apakah saya pantas dijadikan panutan dan
tutuntunan, kalimat ini sungguh terlalu jauh dari angan-angan dan kemampuan
saya sebagai guru. Apakah saya layak menjadi panutan ketika saya ajak mereka
berbicara sebagai sahabat, sebagai teman ketika belajar. Apakah saya pantas
menjadi tuntunan ketika mereka saya sapa sebagai kawan-kawan dan bukan
siswa-siswi ataupun murid-murid. Apakah saya bisa dilihat sebagai sosok yang
pantas di gugu dan di tiru ketika mereka saya ajak mendengarkan teman yang
sedang berbicara ataupun menuliskan ide dan gagasan mereka. Ketika saya
memaksakan mereka melakukan sebuah kejujuran dan berani mengakui kesalahan.
Ketika mereka berteriak senang ataupun merasa sedih dengan nilai ulangan yang
mereka dapat. Ketika mereka saya ajak menghargai teman yang lebih dahulu
berhasil dan tidak menghina mereka yang belum berhasil. Apakah saya seorang
malaikat atau utusan Tuhan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar